Komunitas Sastra Dusun Flobamora mengirim dua penulisnya, Ricky Ulu dan Christian Dan Dadi, untuk mendiskusikan buku terbaru mereka di Makassar International Writers Festival 2025. MIWF dihelat pada 29 Mei—1 Juni 2025 di Fort Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan. Buku cerpen Christian Dan Dadi, Jasad sang Pelacur dan Pemakaman Keduanya, didiskusikan pada 30 Mei 2025 di Gedung K-1, Fort Rotterdam, Makassar, bersama Ricky Ulu yang juga menyampaikan proses kreatifnya dalam menulis buku puisinya, Lalu Kau Menulis Atambua. Diskusi kedua buku dipandu oleh Mariati Atkah, dihadiri para penulis Indonesia seperti Aan Mansyur, Ilda Karwayu, Dian Purnomo, Margareth Ratih Fernandez, Iin Farliani, serta sejumlah peserta festival. Catatan proses kreatif ini ditranskripsi dari jawaban Christian atas pertanyaan pembuka Mariati Atkah pada diskusi tersebut.

Saya jadi penulis karena kecelakaan. Saya sebenarnya perupa. Saya melukis dan membuat patung. Tapi saya pembaca yang rajin, jadi riwayat bacaan sudah merentang ke zaman masih kecil. Sampai pada suatu waktu, saya tinggal di banyak tempat yang berbeda-beda di wilayah NTT. NTT itu seperti melting pot tempat berkumpul segala macam kebudayaan yang berbeda-beda. Saya lahir dan besar di ibu kota provinsi di Kupang, tetapi saya SMP di tempat yang berbeda, di Pulau Flores, di Ende, saya SMA di Atambua, tempatnya Ricky, saya berkuliah kembali ke Maumere. Dari tempat ke tempat itu saya menyerap banyak sekali cerita, kisah-kisah dari lingkungan sekitar. Saya penyimak yang baik, menurut saya sendiri, suka mendengar orang bercerita, suka mendekati tempat-tempat, untuk mendengarkan.
Suatu waktu, saya harus berjarak dari semua itu ketika saya harus pindah ke Jawa dan saya tinggal lama sekali di Yogyakarta. Jadi, ketika saya berjarak dengan NTT, saya melihat NTT dengan cara yang berbeda ketika saya menemukan pembacaan baru lewat buku-buku yang saya temukan di luar NTT, yang ketika saya ada di NTT tidak saya temukan. Seperti García Márquez menemukan Kafka dalam Metamorfosis, demikianlah saya menemukan García Márquez. Seperti juga seperti García Márquez menemukan Juan Rulfo. Saya merasa NTT bisa ditulis dengan cara seperti García Márquez menuliskan tentang Kolombia, karena latar belakang Katolisitasnya sama. Lalu, mitis-magisnya masih kuat, dari daerah-daerah pelosok sampai ke kota. Lalu ketika saya tinggal di Jogja, saya rasakan hal yang sama di situ. Orang kraton, orang dari kampus, masih tetap juga ke Parangtritis atau ke Parangkusuma untuk memberi sesajen. Merasakan hal itu, saya bertanya, kenapa jendela yang sama tidak saya pakai untuk menulis apa-apa yang akrab dengan saya dari aras lokal saya? Jadi, banyak hal yang saya lihat sebenarnya dengan isu lokal tetapi bisa diolah dengan cara yang sama dengan yang dilakukan oleh Juan Rulfo, García Márquez atau Alejo Carpentier.
Awalnya, saya menulis untuk dibaca sendiri. Jadi, saya punya banyak draft yang saya tulis, ada yang hancur bersama gempa Jogja dalam komputer. Komputer saya tinggalkan ketika saya ke Jakarta, lalu saat saya kembali, saya tidak sempat merawat tulisan saya di dalam komputer itu. Ketika gempa, komputer saya ditimpa oleh akuarium. Jadi, saya coba untuk gali kembali tulisan-tulisan saya, ada sedikit yang terpanggil, lebih banyak yang hilang. Yang saya ingat, saya coba tulis ulang secara baru.

Secara kebetulan saya memasuki dunia tulis-menulis. Ketika itu, ada adik sepupu mengabarkan kepada saya undangan menulis antologi bersama penulis-penulis NTT. “Coba Kaka kirim tulisan-tulisan Kaka”. Tulisan-tulisan itu sudah mereka baca. Ketika saya kirim draft-draft awal saya, karya-karya tersebut dikurasi oleh Maria Matildis Banda, Fanny Poyk, sekalipun dimaki-maki, diapresiasi juga, dimasukkan ke dalam antologi. Saya pun merasa ternyata saya bisa mengekspresikan diri bukan hanya lewat karya rupa, tetapi juga lewat kata-kata. Maka, saya pun mulai lebih serius menekuni.
Waktu saya kembali ke Kupang, masih bergabung dengan komunitas perupa Kapur Sirih, lalu suatu waktu ada lomba menulis dari Bacapetra tentang Orang dengan Gangguan Jiwa. Saya juga dipaksa ikut. Kebetulan, tulisan saya waktu itu meraih juara II. Waktu residensi ke Belanda, Felix Nesi olok kawan-kawannya, “Masak sih, lomba menulis yang juara malah perupa.” Tapi, karena itu, karena saya menang kejuaraan itu, saya bertemu dengan Mario F. Lawi di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Saya tidak kenal mereka waktu itu. Saya tidak baca Santarang. Tetapi buku antologi cerpen para pemenang lomba Bacapetra itu diterbitkan oleh Dusun Flobamora, dan saya harus mengambil buku itu di komunitas mereka. Lalu saya datang ke situ, waktu itu belum ada Mario. Tetapi ada Romo Amanche, AN Wibisana, dengan beberapa teman. Lalu ketika saya duduk bersama teman-teman, saya rasa, wah, kita bercakap tentang buku-buku yang kita baca bersama, pikiran yang sama, di sini saya bisa berumah. Karena apa yang saya pikirkan juga mereka pikirkan, apa yang kami percakapkan dari buku yang sama. Lalu saya pun meminta izin, “Bolehkah saya mengikuti pertemuan mingguan kalian?” Saya diperbolehkan. Sejak itu, saya mulai berpindah dari kandang satu ke kandang yang lain. Kemudian Mario datang dan mulai kenal, saya rasa saya dapat teman yang klop.

Jasad sang Pelacur dan Pemakaman Keduanya, buku cerpen saya ini, adalah perjalanan singkat saya. Buku ini tentu tidak semendalam karya-karya teman-teman. Karya-karya saya tentu saja tidak bisa jadi buku kalau tidak ada teman-teman dari Dusun Flobamora.