Akhirnya Sisifus Bahagia

Esai oleh Eki Lalo
Pertama kali terbit di Jurnal Sastra Filokalia, edisi November 2024

“Apakah saya Sisifus yang dikutuk itu? Saya kira demikian!”
“Saya kira seorang penulis esai perlu mempunyai mental Sisifus.”

Ruang dan Raung, demikian Festival Sastra Santarang (30-31 Agustus 2024) mencoba menggemakan raungannya dalam ruang-raung kosong. Ruang kosong hati manusia, raung kosong dalam otak manusia, dan yang paling penting, ruang kosong kesadaran manusia. Raungannya harus mampu membangkitkan cipta, karsa dan rasa yang tertidur lelap dalam ruang-ruang kosong kemanusiaan.

Poster Lokakarya Penulisan Esai untuk Koran, Festival Sastra Santarang, 30-31 Agustus 2024

Di hari pertama kegiatan Kelas Penulisan Esai (30 Agustus 2024), peserta diperkenalkan dengan metode menulis yang cukup menarik, dan kalau boleh saya bilang, bahwa hal ini semacam menyiram minyak tanah pada kayu kering. Ide-ide dan gagasan yang selama ini tersimpan dalam pikiran layaknya kayu-kayu kering yang tidak ada artinya, semuanya berserakan dalam ruang-ruang kosong yang gelap. Lalu, bagaimana menyalakannya? Di manakah api?

Hari kedua adalah apinya. Minyak yang disiram di hari pertama, membuat api menyala dengan sangat terang. Bahkan raungan dari bara api itu menggema di seluruh ruangan. Ada banyak hal menarik di hari kedua ini. Peserta diminta memilih salah satu buku, membaca, dan menentukan ide-ide pokok, lalu kemudian mengulasnya dalam beberapa paragraf.

Dan kebetulan sekali pada sesi ini saya mendapatkan sebuah buku berjudul Menjadi Sisifus, sebuah antologi esai karya Acep Zamzam Noor. Membaca judulnya membuat saya berpikir bahwa hari ini saya akan melakukan pekerjaan sia-sia. Membaca esai dan menulisnya lagi, membaca dan menulisnya lagi. Bukankah ini pekerjaan yang sia-sia? Tetapi sekalipun terlihat sia-sia saya toh tetap melakukannya. Apakah saya harus menjadi seperti Sisifus? “Saya kira, seorang penulis esai perlu juga mempunyai mental Sisifus,” beginilah jawaban Acep dalam karyanya.

“Mungkinkah Acep adalah jelmaan Sisifus yang dikutuk untuk membaca dan menulis, juga mengutak-atik kanvas?” saya bertanya dalam hati.

Sisifus adalah seorang tokoh yang sangat terkenal dalam mitologi Yunani. Dikisahkan bahwa Sisifus adalah seorang raja yang dikutuk karena sifatnya yang licik. Karena menipu para dewa, para dewa mengutuknya untuk mendorong batu ke puncak bukit. Ketika batu sampai di puncak bukit, batu itu akan berguling lagi ke bawah dan Sisifus harus mendorongnya lagi ke puncak bukit. Begitulah dia dihukum untuk melakukan pekerjaan itu selamanya.


Poster Lokakarya Penulisan Esai Sastra, Festival Sastra Santarang, 30-31 Agustus 2024

Membaca kisah Sisifus, saya jadi teringat filsuf, novelis dan esais asal Prancis bernama Albert Camus. Dalam buku esai berjudul Le mythe de Sisyphe, Camus memberikan tiga pilihan ketika seorang merasa diri dikutuk seperti Sisifus, untuk menentukan sendiri kebebasannya. Pilihan pertama yakni dengan bunuh diri. Melalui pilihan ini, seseorang akan terlepas dan bebas dari kutukan abadi itu, tetapi serentak pula menjadi pecundang dalam hidupnya. Pilihan kedua yakni bunuh diri filosofis. Baginya, orang yang beriman sebenarnya telah mati secara filosofis karena mereka meragukan kemampuan akal sehatnya. Pandangan ini menjadikan Camus dicap sebagai seorang agnostik dan ateistik. Pilihan ketiga adalah pemberontakan. Pilihan inilah yang paling dianjurkan Camus, untuk bebas dari kutukan, Sisifus harus memberontak dengan terus hidup walaupun yang dikerjakannya tampak sia-sia, tetapi dengan semangat hidupnya Sisifus membuktikan bahwa hidup harus terus diusahakan dan diperjuangkan.

Cara pandang Albert Camus ini membuka cakrawala berpikir saya. Menulis bagi saya adalah sebuah kutukan, dan pekerjaan yang sia-sia. Tapi justru saya sadar bahwa ketika seseorang berhenti membaca dan menulis sebenarnya dirinya telah mati. Dia telah mati secara filosofis karena menelantarkan rasionalitasnya, menyangkali dan menjadikannya ruang-ruang kosong yang sunyi tanpa raungan.

Meski demikian, saya tidak dapat mengubah hakikat kutukan itu. Membaca dan menulis adalah sebuah kutukan abadi. untuk menjadi abadi, seseorang harus terus membaca dan menulis. Esai ini adalah langkah awal pemberontakan saya atas kutukan itu. Albert Camus menulis di akhir esai tersebut, “Kita harus membayangkan Sisifus bahagia.” Dengan begitu, saya membayangkan pula bahwa saya telah menjadi Sisifus yang bahagia dalam membaca dan menulis.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Shopping Cart
Scroll to Top