oleh Saddam HP
Redaktur Pelaksana Jurnal Sastra Santarang
Ketika Komunitas Sastra Dusun Flobamora dideklarasikan pada 19 Februari 2011, saya, Giovanni Arum, Derry Saba dan beberapa teman lain sementara menempuh pendidikan di Tahun Orientasi Rohani (TOR) Lo’o Damian, Atambua. Kabar tentang pembentukan komunitas ini kemudian saya peroleh lewat Pos Kupang, Minggu, 20 Maret 2011 dalam tulisan berjudul “Wadah Sastra Kreatif untuk Para Pemula” oleh Amanche Franck Oe Ninu dan Mario F. Lawi. Dalam tulisan itu digambarkan tentang awal pembentukan dan kegiatan apresiasi-kritik yang telah dilakukan komunitas.
Dusun Flobamora awalnya dipimpin oleh Pion Ratulolly, kemudian diestafetkan kepada Amanche Franck Oe Ninu, seorang imam Katolik Keuskupan Agung Kupang. Romo Amanche sebelumnya telah mendirikan beberapa komunitas. Sewaktu menjalani tahun orientasi pastoral di Seminari Menengah St. Rafael, ia mendirikan Komunitas Sastra Seminari Oepoi (Kontas Sepoi). Selanjutnya ia menginiasi pembentukan Komunitas Sastra Filokalia di Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang dan menerbitkan jurnal sastra Filokalia. Setelah pembentukan Dusun Flobamora, ia pun mendirikan komunitas sastra di SMAK Giovanni Kupang (Kontas-G). Beberapa penulis yang kini dikenal di dunia sastra nasional lahir dari komunitas-komunitas ini.
Geliat kegiatan Dusun Flobamora saat itu mulai beragam, tetapi tak cukup sampai di situ. Sungai apresiasi dan produktivitas para anggota tak memiliki ceruk untuk mengalir. Di samping itu, media sastra di NTT sangat minim dan tidak serius dalam menerbitkan karya sastra. Akhirnya, pada Mei 2012, terbitlah Jurnal Sastra Santarang. Santarang adalah akronim dari sabana, lontar dan karang. Jurnal ini memuat tulisan dari para penulis NTT maupun dari luar NTT dengan rubrik esai, cerpen, puisi, kusu-kusu, profil, resensi dan karikatur.
Setelah duduk di bangku Seminari Tinggi St. Mikhael, saya dan beberapa teman mulai bergabung di Dusun Flobamora. Kami pun berlomba-lomba mengirimkan tulisan kami ke Santarang. Tulisan pertama Giovanni Arum di Santarang adalah esai berjudul “Aku dan Amanche Franck” di edisi Januari 2013. Ia mengupas cerpen-cerpen Romo Amanche dalam buku “Pesona Flobamora”. Sedangkan tulisan pertama saya yang dimuat adalah resensi buku puisi “Poetae Verba” karya Mario F. Lawi di edisi Agustus 2012. Dalam tulisan berjudul “Perjalanan Panjang Sabda-sabda Penyair” saya menyoroti tema-tema dalam buku puisi pertama Mario itu. Kelemahan pada buku ini adalah tata letak yang kurang rapi. Buku puisi ini kemudian diterbitkan ulang dengan judul “Memoria” (IBC, 2013).

Mario, yang saat itu bertugas sebagai pemimpin redaksi, meminta saya untuk mengasuh rubrik resensi. Tugasnya sederhana: menyeleksi tulisan yang masuk, dan bila tak ada tulisan maka saya yang harus mengisi rubrik ini. Kesempatan ini saya pakai untuk menyeleksi tulisan dan buku-buku serta menakar sudah sejauh mana bacaan saya bergerak.
Selain mengisi rubrik resensi, saya menulis juga di rubrik esai dan puisi. Rubrik puisi barangkali adalah rubrik yang paling banyak diminati. Tercatat beberapa nama yang penting disebut akhir-akhir ini seperti Dalasari Pera, Kiki Sulistyo, Ilda Karwayu, Jamil Massa, dan Felix K. Nesi mengirimkan puisinya pada tahun-tahun awal penerbitan Santarang. Selain itu, Santarang menjadi ladang persemaian bibit karya bagi penulis yang sedang bertumbuh. Hal yang justru tak bisa dijangkau dan dipelihara oleh media-media lokal.
Mario lalu meminta saya untuk mengisi rubrik profil. Dengan berbekal bacaan pada rubrik “Tamu Kita” di Pos Kupang dan rubrik “Persona” di Kompas Minggu, saya mewawancarai beberapa penulis. Di Seminari Tinggi St. Mikhael saya mewawancarai Januario Gonzaga, Christo Ngasi dan Ishak Sonlay. Di Naimata, selain menulis profil Mario F. Lawi, saya berkesempatan untuk mewawancarai Cyprian Bitin Berek untuk edisi Februari 2014. Puisi Cyprian berjudul ‘Istri Lot’ memang dijadikan rujukan oleh Goenawan Mohamad dalam menulis Catatan Pinggir di Majalah Tempo edisi 14-20 Februari 2011, tapi jauh sebelum itu, puisi-puisi Cyprian telah saya baca sejak seminari menengah Oepoi dan mengajarkan saya bagaimana imaji biblikal itu dituliskan. Buku puisi “Pertarungan di Pniel” karya Cyprian Bitin Berek kemudian diterbitkan Penerbit Dusun Flobamora pada tahun 2019.
Berbeda dengan menulis di rubrik resensi, dengan menulis profil saya mampu mengukur sejauh mana pengembaraan kreatif seseorang bekerja. Mario F. Lawi mengagumi para penyair Latin. Cyprian membaca WS Rendra dan Federico Garcia Lorca. Januario Gonzaga menyukai Albert Camus dan Sartre. Seperti Mario F. Lawi yang semasa SMA menemukan Arundhati Roy lewat komentar Melani Budianta di buku “Peri Kecil di Sungai Nipah” karya Dyah Merta, saya belajar menemukan nama-nama yang disebutkan para narasumber untuk memperkaya khazanah bacaan saya.
Berkaitan dengan akses bacaan ini, seringkali Mario menjadi rujukan bagi saya dan teman-teman. Hal ini diakui pula oleh Giovanni Arum dalam diskusi buku “Imaji Biblikal dan Penghayatan Iman personal” dan buku puisi “Ekaristi” di Seminari Tinggi St Mikhael, Kamis, 20 Februari 2025. Alasan ia memilih puisi-puisi Mario sebagai subyek penelitian bukunya adalah karena Mario adalah sosok penting bagaimana ia dapat mengakses bacaan-bacaan, khususnya bacaan sastra.
Tugas yang tak kalah penting bagi sebuah jurnal untuk tetap eksis adalah pemasaran. Setelah terbit, Mario mengantarkan Santarang kepada para pembeli. Sementara itu saya ditugaskan menjadi ‘agen’ di seminari tinggi. Setiap bulan saya menjual 10 eksemplar di antara frater-frater seharga Rp.10.000. Sebelum sempat bersyukur karena kerja kreatif satu bulan baru terlepas dari pundak, tanpa terasa bulan baru telah tiba. Penerbitan Santarang per bulan ini bertahan selama 5 tahun. Upaya untuk mengumpulkan, menyeleksi, menerbitkan dan mendistribusi naskah kami jalani dengan semangat yang militan sampai di usia yang ke-12 tahun ini.
Proses kreatif saya dalam membaca dan menulis bertumbuh bersama Santarang. Kini, Santarang tak lagi cetak bulanan seperti di awal penerbitannya. Format penerbitan Santarang sempat berganti-ganti. Semesteran, dwibulan, hingga mengambil format triwulan seperti terbitan tiga tahun terakhir ini. Meski berubah-ubah, kita tentu tahu bahwa karya sastra tak dibatasi dimensi ruang dan waktu.
Beberapa waktu lalu sebelum ulang tahun Dusun Flobamora ke-14, saat Felix K. Nesi memesan semua edisi jurnal sastra Santarang lewat grup WhatsApp Dusun Flobamora, saya menjadi semakin yakin bahwa memang demikianlah hakikatnya sebuah karya sastra. Ia melampaui zaman.
Segala upaya yang dilakukan Dusun Flobamora melalui jurnal sastra Santarang tentu bukan dalam posisi Mardinah, anak pensiunan juru tulis dalam novel “Gadis Pantai” (1987) karya Pramoedya Ananta Toer, yang pandai membaca aksara tapi tak berpihak kepada yang lain. Ini hanyalah langkah kecil yang terus dipelihara dan dijaga dengan ketulusan sekaligus upaya memelihara rasa ingin tahu, tepat seperti yang dilakukan Gadis Pantai saat membersihkan bufet segitiga di rumah Bendoro dan melihat sebuah buku tebal yang berdiri, yang sekalipun buta aksara tapi masih punya keyakinan, “Barangkali saja anakku nanti bisa membacanya.”
Pertama kali dimuat di PosKupang.com, 28 Februari 2025