Komunitas Sastra Dusun Flobamora mengirim dua penulisnya, Ricky Ulu dan Christian Dan Dadi, untuk mendiskusikan buku terbaru mereka di Makassar International Writers Festival 2025. MIWF dihelat pada 29 Mei—1 Juni 2025 di Fort Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan. Buku puisi Ricky Ulu, Lalu Kau Menulis Atambua, didiskusikan pada 30 Mei 2025 di Gedung K-1, Fort Rotterdam, Makassar, bersama Christian Dan Dadi yang juga menyampaikan proses kreatifnya dalam menulis Jasad sang Pelacur dan Pemakaman keduanya. Diskusi kedua buku dipandu oleh Mariati Atkah, dihadiri para penulis Indonesia seperti Aan Mansyur, Ilda Karwayu, Dian Purnomo, Margareth Ratih Fernandez, Iin Farliani, serta sejumlah peserta festival. Catatan proses kreatif ini ditranskripsi dari jawaban Ricky atas pertanyaan pembuka Mariati Atkah pada diskusi tersebut.

Saya mulai belajar menulis sekitar 2013, karena waktu itu kuliah di Kupang, dan mengikuti Festival Sastra Santarang pertama. Mulai belajar di situ. Mengikuti beberapa kelas dan diskusi yang diadakan oleh Dusun Flobamora. Ada satu pesan tentang menulis yang sampai sekarang tertanam kuat di kepala saya, “Menulislah tentang hal yang paling dekat dengan kita.”

Waktu itu saya membaca banyak karya penulis Sumatra di Kompas, kami akses di kampus. Ada semacam rasa iri, mereka diizinkan untuk menulis seperti itu, dan saya yang berada di Kupang dengan latar kultural Atambua menikmati itu. Lalu saya berpikir apakah saya juga diizinkan untuk menulis memakai bahan dasar dari Atambua? Kenangan itu saya simpan.
Seiring berjalannya waktu, saya kerja di Ponu, satu desa di pinggiran dekat Timor Leste, rumah saya di Atambua, kota kecil yang juga dekat dengan perbatasan Timor Leste, Motaain. Dengan semua pergolakan kota yang saya alami, mungkin ada jalan untuk merawat ini semua, apa yang terjadi di Atambua, apa yang ada di Atambua di zaman saya, mungkin puisi bisa menjadi salah satu jalan untuk merawat itu semua. Lalu saya memilih untuk menulis itu semua dalam puisi-puisi yang saya kumpulkan dalam buku Lalu Kau Menulis Atambua. Saya juga merasa senang karena orang Atambua mulai tertarik untuk membaca puisi. Jujur, Atambua kota kecil sekali, sepertinya jauh dari hiruk pikuk kesenian Indonesia apalagi dunia. Di sana kami tahu kesenian artinya berdansa, kita hanya menyanyi lagu dansa lalu siap-siap kaco (berkelahi). Sisa-sisa trauma ’98 masih ada di kami, isu Timor Leste juga belum selesai.

Memilih menulis puisi sebagai jalan untuk merawat Atambua kadang seperti jalan yang tidak biasa. Karena di Atambua, jika laki-laki dewasa, usia 30-an, menulis puisi, dianggap tidak lazim. Yang dianggap maskulin di Atambua itu mabuk, merokok, pesta, kaco. Di Atambua, kalau laki-laki menulis puisi itu kecelakaan. Kami masih menganggap bahwa menulis puisi itu hanya untuk mengungkapkan perasaan, untuk perempuan, untuk menggombal perempuan. Ternyata saya bisa menulis hal-hal lain, seperti misa malam Natal, hari Minggu di sana. Saya pikir, kalau mau menikmati Atambua, caranya seperti ini.