Mario F. Lawi
Editor Penerbit Dusun Flobamora
Pada Desember 2021, Penerbit Dusun Flobamora menerbitkan buku Docendo Discere, berisi esai-esai tentang pendidikan yang ditulis oleh Adrianus Ngongo. Esai-esai dalam buku tersebut sebelumnya telah terbit di koran-koran NTT sepanjang 2009-2021. “Docendo discere”, pepatah Latin yang jadi judul buku,berarti “belajar melalui mengajar”. Pepatah tersebut diturunkan dari kalimat Seneca Muda, seorang filsuf Stoik Romawi dari abad pertama Masehi, dalam salah satu suratnya kepada Lucilius: Homines dum docent discunt, “orang-orang belajar ketika mereka mengajar”. Belajar melalui mengajar adalah awasan buat kita semua, tetapi lebih spesifik buat para guru, orang-orang yang mengaplikasikan ilmu yang mereka peroleh selama bertahun-tahun dengan mengajar di sekolah-sekolah.
Belajar melalui mengajar mengandaikan seorang guru juga mengambil hal-hal yang berguna bagi kehidupannya melalui kegiatan mengajarnya, lewat pertanyaan dan persoalan yang dihadapi dan diajukan para siswanya, lewat masalah-masalah yang ingin dilampauinya di kelas-kelasnya, lewat percobaan-percobaan metode untuk menyesuaikan kelas dengan perkembangan zaman dan teknologi, dan lain-lain. Docendo Discere memang terbit di saat berbagai pihak di NTT sedang latah dengan kata “literasi”, tetapi esai-esai dalam buku ini telah secara bersahaja disemaikan jauh-jauh hari di rubrik-rubrik “Opini” koran, jauh dari keriuhan, sindrom pahlawan, dan harapan akan pujian.
Docendo Discere berisi pandangan-pandangan Adrianus Ngongo, seorang guru di SMK Negeri 2 Kupang, terhadap pendidikan pada umumnya, terutama kesejahteraan guru, pengembangan karakter para siswa, serta bagaimana pendidikan ideal mesti dijalankan di sekolah. Dalam esai-esainya tentang sistem pengupahan guru melalui skema sertifikasi, misalnya, dapat kita temukan kesadaran Adrianus tentang guru sebagai buruh yang mesti mengetahui hak dan kewajiban yang dimilikinya.
Semua esai dalam buku Docendo Discere ini sebelumnya pernah terbit di berbagai media cetak yang ada di NTT. Karena itu, para pembaca perlu menempatkan konteks pembacaan dalam situasi pendidikan di NTT secara umum, dan Kota Kupang tempat sang penulis bekerja secara khusus. Esai-esai dalam Docendo Discere menunjukkan berbagai fenomena pendidikan yang dihadapi para pendidik sepanjang periode tersebut, juga usaha-usaha yang ditawarkan penulis untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam berbagai fenomena tersebut.
Meski sebagian besar esai-esai dalam buku ini tampak normatif, ada juga sejumlah esai yang menyempilkan kesadaran pedagogi kritis, misalnya dalam esai-esai tentang pengadaan ujian nasional. Gugatan Adrianus Ngongo terhadap ujian nasional diletakkan pada landasan yang substansial. Pada akhirnya ujian nasional memang dihapuskan setelah melalui berbagai pertimbangan pemerintah. Michael W. Apple dalam artikel berjudul “The Politics of Official Knowledge: Does a National Curriculum Make Sense” (1993) menunjukkan berbahayanya praktik penyeragaman kurikulum yang bermuara pada penyeragaman ujian kelulusan nasional dalam konteks Amerika Serikat.
Mengutip Whitty, Apple berargumentasi bahwa koalisi kaum Kanan di Amerika Serikat memiliki kapasitas yang sangat besar untuk menghubungkan standardisasi kurikulum neokonservatif dan prinsip-prinsip pasar neoliberal. Dengan demikian, kurikulum nasional didorong demi tujuan modernisasi kurikulum dan produksi yang efisien dari human capital, sekaligus menampilkan kerinduan pada masa lalu yang diromantisasi. Dalam logika tersebut, pendidikan didistribusikan menurut kekuatan pasar dan kurikulum nasional serta testing nasional dapat dipandang sebagai konsesi-konsesi penting dalam mencapai tujuan jangka panjang itu. Dengan kata lain, kurikulum nasional dan testing nasional merupakan bagian dari komite penjaga untuk mengontrol pasar. Cara tersebut memiliki konsekuensi, menurut Apple, terhadap cara memandang kurikulum nasional sebagai sarana akuntabilitas yang menjadi tolok ukur evaluasi orang tua terhadap sekolah. Dengan adanya norma yang tetap dalam sekolah, mekanisme pembedaan anak-anak di dalamnya menjadi lebih kaku, dan dengan demikian makna-makna sosial dan derivasi-derivasinya tidak tersedia untuk dicermati.
Logika tersebut berangkat dari kecenderungan untuk memandang kurikulum nasional sebagai sarana menciptakan kohesi sosial dan kriteria objektif, sementara hasil yang datang justru berbanding terbalik dari harapan. Dampaknya justru antagonisme sosial, sehingga destruksi ekonomi dan budaya yang dihasilkan neokonservatisme dan neoliberalisme semakin parah. Padahal, kurikulum semestinya tidak dilihat sebagai sesuatu yang objektif. Sebaliknya, kurikulum mesti menyubjektifikasi dirinya terus-menerus secara konstan, dengan melibatkan akar-akar budaya, sejarah dan sosial. Inilah yang disebut Apple sebagai kurikulum demokratis. Kurikulum dan pedagogi demokratis mesti menyadari adanya penempatan-penempatan perbedaan sosial dan repertoar-repertoar budaya, dan relasi kuasa di antara keduanya.
Gagasan tentang budaya bersama (common culture) pada kurikulum nasional, dalam pengertian kaum neokonservatif, dibangun dalam bentuk politik budaya. Gagasan tentang budaya bersama tidak mampu menjawab masalah heterogenitas kultural yang sangat luas dari masyarakat yang membawa tradisi-tradisi kultural mereka masing-masing dari berbagai penjuru dunia. Di Inggris, misalnya, fungsi kurikulum nasional dipandang oleh kaum Kanan sebagai hal esensial untuk mencegah relativisme. Dengan kata lain, kurikulum nasional adalah mekanisme kontrol politik terhadap pengetahuan. Pihak yang diuntungkan dari kurikulum nasional semacam ini adalah pihak-pihak yang berada pada hierarki dominan dan mayoritas. Masalah seperti itulah yang juga terjadi di Indonesia, dan diskriminasinya terus berlanjut bahkan setelah ujian nasional dihapuskan. Pengadaan ujian nasional merupakan salah satu praktik yang disoroti Adrianus dalam buku esainya.
Contoh lain diskriminasi yang disorot Adrianus adalah penggunaan kurikulum umum untuk sekolah-sekolah vokasi. Menurut Adrianus, dalam esai berjudul “Pembelajaran Bahasa Berbasis Vokasi”, selain tidak tepat sasaran, karena istilah-istilah yang digunakan para siswa dalam sekolah vokasi berbeda dari sekolah-sekolah umum, sekolah-sekolah vokasi membutuhkan sentuhan pengajaran seorang guru kejuruan yang menguasai istilah-istilah dan materi-materi spesifik untuk konteks sekolah vokasi pada pelajaran-pelajaran umum seperti bahasa Inggris. Untuk itu, Adrianus menawarkan kolaborasi antara guru kejuruan dengan guru umum sebagai menjadi solusi awal mengatasi kesenjangan tersebut.
Esai “Pembelajaran Bahasa Berbasis Vokasi” adalah contoh bagaimana masalah yang dihadapi di tingkat sekolah digunakan Adrianus untuk menyoroti sistem pendidikan yang lebih luas. Esai tersebut, seperti esai-esai lain dalam dalam buku Docendo Discere, ditulis dalam bahasa yang sederhana, dan ditutup dengan solusi praktis. Hal tersebut menunjukkan peran edukatif dan didaktis yang ingin dijalankan Adrianus sebagai seorang guru bahasa Inggris di SMK melalui rubrik-rubrik “Opini” di koran-koran NTT. Sebagian besar esai dalam Docendo Discere dapat kita baca sebagai autokritik si penulis, kritik terhadap rekan-rekan seprofesi, bahkan terhadap sistem pendidikan yang berjalan selama ini, demi perbaikan berbagai persoalan yang dialami dari tahun ke tahun. Docendo Discere penting dibaca karena ia ditulis oleh praktisi pendidikan, seorang guru, yang sehari-hari menghadapi langsung kendala-kendala yang ia sampaikan dalam tulisan-tulisannya melalui praktik mengajar di sekolah, dan berusaha mengatasi kendala-kendala tersebut dengan memikirkan solusinya, atau dengan melemparkannya kepada pembaca sebagai persoalan bersama untuk dipecahkan.