Gelar wicara proses kreatif bersama Adriana Ngailu, Armando Soriano dan Etho Boimau menandai pembukaan Pameran Numbu Mamboro di Museum Café JKK Kota Kupang. Pameran berlangsung selama 25-28 September 2024, didukung oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia melalui Program Dana Indonesiana Kategori Pendayagunaan Ruang Publik Tahun 2023.
Numbu Mamboro dalam bahasa Indonesia berarti Tombak Mamboro. “Kata mamboro sendiri berasal dari asal kata ‘memburu’,” jelas Adriana Ngailu selaku project leader. Ia menambahkan, “Secara filosofis, biasa kalau orang mau berperang, atau melakukan suatu yang yang berkaitan dengan peperangan atau mungkin menerkam binatang di hutan itu memakai tombak. Dan filosofi utamanya adalah bagaimana mereka mempertahankan wilayah mereka dengan maksud untuk mewarisi keberadaan kebudayaan atau eksistensi dari mereka.”
Pameran ini merupakan upaya pelestarian transmisi tradisi dan budaya Mamboro dalam bentuk kolektivitas publik masyarakat Mamboro melalui pengumpulan arsip dokumentasi warga, penelitian filosofis, perekaman syair tutur lisan, penggambaran sketsa tradisi megalitik dan pola kehidupan budaya Mamboro. Seluruh hasil pengerjaan ini kemudian dihadirkan kepada publik berupa penyajian seni media baru.
Armando Soriano sebagai kurator Pameran Numbu Mamboro dalam catatan kuratorialnya mengungkapkan, “Pada dasarnya, Seni Media Baru adalah metode penciptaan karya seni yang di dalamnya terdapat peran atau singgungan dengan teknologi digital, media interaktif, atau inovasi teknologi lainna.”
Pameran Numbu Mamboro adalah ujung dari rangkaian kegiatan yang dimulai dari riset yang telah dilakukan Kabupaten Sumba Tengah yang berfokus pada sejarah, pola hidup dan tradisi batu megalitik Mamboro, perekaman suara, penggambaran sketsa kasar, produksi videografis, musik eksperimental dan pengkaryaan lukisan di Kupang.
“Saya berharap agar tentu untuk kepentingan bersama, kita yang menikmati pameran bisa mendapatkan pengalaman dari suatu pameran yang baik, lalu pertemuan dengan kebudayaan dan lain-lain.” Ia pun menekankan pentingnya pengarsipan. “Selanjutnya tentang pengarsipan di Sumba Tengah juga. Karena Sumba Tengah memang sedikit sekali mempunyai arsip tentang kebudayaan mereka. Ini tentunya berguna juga buat mereka sendiri,” tegas Adriana. (ASHP)