Esai oleh Yuf Fernandez
Pertama kali terbit di Jurnal Sastra Filokalia, edisi Desember 2024
Cerita perkembangan agama-agama termasuk kekristenan diwarnai dengan adanya mukjizat-mukjizat. Dalam Kitab Suci sendiri diceritakan bagaimana Yesus melakukan banyak mukjizat, baik itu penyembuhan, pengusiran roh jahat, dan sebagainya. Rasul-rasul juga melakukan berbagai mukjizat. Ketika pergi dan mewartakan Injil ke penjuru dunia, tidak jarang mereka melakukan berbagai karya seperti penyembuhan, pengusiran roh jahat, dan sebagainya.
Cerita-cerita tentang berbagai mukjizat maupun hal ajaib yang dilakukan oleh misionaris Barat juga masih bisa ditemukan pada segelintir orang. Ada yang bercerita bahwa pastor A bisa melipat mobil dan menaruhnya dalam saku baju. Ada yang bercerita bahwa pastor B bisa menjadi terang, dan beragam lainnya. Sesekali beberapa argumen dihadirkan untuk meyakinkan pendengar. Semuanya diiringi dengan kepercayaan bahwa orang-orang tersebut punya kesalehan yang paripurna; punya iman hampir sebesar biji sesawi, sesaat lagi dapat memindahkan gunung.
Cerita-cerita seperti ini tentunya masih mudah ditemukan. Ada saja orang yang akan bercerita seperti ini di acara kumpul keluarga, tenda duka, arisan keluarga, maupun di kesempatan berkumpul lainnya. Keyakinan tentang orang-orang dengan karunia khusus juga tidak kalah mudah ditemukan. Ada saja orang yang bisa menyembuhkan dengan doa, bisa melihat roh jahat, bisa melihat masa depan, dan berbagai karunia lainnya. Tentunya tidak semua orang percaya. Ada yang percaya dengan sungguh, ada yang tidak percaya dengan sungguh, dan tentu saja ada yang bersikap di antara keduanya.
Dua orang pastor dalam cerpen “Mukjizat Terakhir” karya Christian Dan Dadi dalam Mukjizat Terakhir, antologi karya sastra perayaan perak imamat Rm. Sipri Senda, Pr. (Dusun Flobamora, 2024) memberikan pemahaman yang berbeda mengenai mukjizat. Pastor pertama, pastor yang lebih muda, melakukan banyak karya besar seperti penyembuhan dan lain sebagainya, yang bagi banyak orang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang luar biasa. Ia membuat orang terkagum-kagum bahkan ketika ia mencoba berjalan di atas air dan akhirnya tenggelam, banyak orang yang masih terkagum-kagum karena ia berhasil selamat. Pastor kedua, pastor yang lebih senior, melakukan karya yang berbeda. Ia memelihara ternak dan melaksanakan tugas pokoknya. Ketika menemani pastor muda yang sedang sakit, ia berbisik, “Lain kali, kalau mau mencoba kembali, terdahulu belajarlah berenang. Karena kita klerus, kalaupun kudus, bukan kawanan bebek.”

Istilah pendoa dikenakan setidaknya untuk dua teladan. Pertama, orang yang didapati berdoa terus-menerus dengan durasi yang cukup panjang. Dalam kehidupan seminari, julukan ini diberikan kepada mereka yang sering berdoa cukup lama di luar jam doa bersama. Dalam beberapa kasus, hingga larut malam, atau sepanjang istirahat siang. Kedua, orang yang dipercaya memiliki karunia khusus berkat doa, meditasi, mati raga, dan lain sebagainya. Karunia itu baik berupa penyembuhan, penglihatan, dan sebagainya. Pastor muda mengambil bagian dalam dua keadaan tersebut. Rasa tidak sukanya pada pelajaran Filsafat dan Teologi, kebiasaan-kebiasaannya, orang-orang yang mencarinya terus-menerus, dan keyakinannya, menjadi bukti yang kuat.
Dialog akhir dari kedua orang pastor ini setidaknya menjadi titik simpul yang melegakan dari dua corak pandangan ekstrem dalam beriman. Pertama, mereka yang percaya dengan sungguh. Golongan orang yang yakin dengan sangat bahwa doa dapat mengubah banyak hal, bahwa hanya dengan doa (dan hal-hal religius lain seperti puasa dan mati raga) segala perkara dapat diselesaikan dengan begitu ajaib. Tak perlu usaha sebab doa sendiri merupakan bentuk usaha paling paripurna. Kedua, mereka tidak percaya dengan sungguh. Seolah-olah karunia khusus tidak pernah ada, kesalehan cuma kepura-puraan, mukjizat cuma cerita dongeng.
Titik simpul ini setidaknya ingin menegaskan bahwa mukjizat dalam hidup beriman adalah suatu kenyataan, tetapi perlu diselidiki dengan saksama agar tidak mengesampingkan akal budi. Suatu penegasan yang sejak jauh-jauh hari telah disampaikan oleh Santo Anselmus dari Canterbury, dan dikutip dalam berbagai diktat teologi, fides quaerens intellectum, iman yang mencari pengertian.