Merespons pertanyaan dari Mariati Atkah, moderator diskusi buku Jasad sang Pelacur dan Pemakaman Keduanya, tentang cerpen “Si Cantik Maisaroh”, serta pertanyaan dari Dian Purnomo tentang tokoh-tokoh perempuan dan pelacur dalam buku cerpennya, Christian Dan Dadi membagikan kisah di balik kelahiran dua cerpennya di depan para pendengar yang mengikuti diskusi dua buku terbitan Dusun Flobamora di Gedung K-1, Fort Rotterdam, Makassar, Sulawesi Selatan (30/05/2025). Esai ini kami transkripsi dari jawaban Christian dalam diskusi tersebut.
Tentang “Si Cantik Maisaroh”
Saya pernah tinggal lama di Flores. Saya aslinya orang Flores, orang Ende yang lahir dan besar di Pulau Timor, di Kupang. Ende sendiri, kabupaten di tengah Pulau Flores, pesisir utaranya diisi oleh orang-orang dari Sulawesi Selatan, orang-orang Bugis. Kampung saya di lereng Gunung Kelimutu. Semua orang membayangkan bahwa kampung Muslim itu biasanya ada di pesisir. Tapi kampung asli saya itu kampung Muslim, di lereng Gunung Kelimutu. Ayah saya bercerita, ketika dia masih kecil, dia sudah makan kurma di depan gerbang kampung. Siapa membawa kurma dan menanam kurma di depan gerbang kampungnya? Itu bukan cerita tentang pesisir. Itu cerita tentang orang di lereng gunung. Kebudayaan Muslim untuk kami tidak sangat asing. Raja Ende itu Muslim. Kami punya aksara Lota di Ende, dari Lontara. Bentuknya juga sama. Bahasa Lio lebih bagus ditulis dalam aksara Lota. Ada banyak pengucapan yang tidak bisa diindonesiakan. Salah satu ahlinya adalah sastrawati kami, Maria Matildis Banda. Jadi, kebudayaan Bugis dan Islam untuk saya tidak asing. Di Pesisir Kupang juga terkepung dengan orang Bajo, orang Bugis, orang Buton, jadi saya tidak rasa asing ketika bertemu dengan budaya tersebut. Geliting dan Bebeng di pesisir utara Pulau Flores di Maumere itu dulu sebenarnya kampung orang-orang dari Sulawesi Selatan. Jadi, semua nama-nama dalam cerpen itu muncul karena saya berkenalan, bertemu dengan mereka, karena saya tinggal lama di Maumere.

Tentang “Jasad sang Pelacur dan Pemakaman Keduanya”, cerpen yang judulnya dijadikan judul buku
Karena saya suka menyimak dan jalan-jalan, ada beberapa cerita tentang pelacuran dalam buku ini, ada yang tentang Pangandaran, ada yang di pesisir utara, itu tempat-tempat mobil-mobil biasa ngetem. Saya menyimak bagaimana para pejalan/pelintas di Pantai Utara itu menyinggahi tempat-tempat itu untuk sekadar beristirahat, untuk makan atau minum, ada yang kadang kala melacurkan diri juga di situ. Itu menginspirasi saya untuk membuat satu cerpen yang sederhana, bagaimana seorang pelacur berubah dari sebuah nama yang terlupakan di masa lalu menjadi sebuah legenda di masa sekarang hanya karena ketika tempat itu mau digusur, kuburan-kuburan harus dipindahkan, kuburan yang terakhir yang harus dipindahkan itu ternyata kuburannya si Surti, si pelacur yang pernah kondang beberapa puluh tahun yang lalu. Ketika makamnya digali, tubuhnya masih utuh. Dia berbau sangat harum. Jadi, semua orang pada terpesona. Ada orang yang masih ingat tentang masa lalu itu, dia bilang, βItu namanya Surti. Dulu dia pelacur yang sangat molek.β Tetapi tidak ada keluarganya di sekitar sini, makanya ketika dia dikuburkan, dia dikuburkan dengan urunan uang dari teman-temannya dan pelanggannya. Jadi, karena dia begitu unik, karena dia berbau harum, dan tubuhnya tidak dimakan oleh renik penghancur, semua orang kebingungan mau diapakan mayat ini. Mau dipindahkan ke kuburan baru, ada yang bersepakat membawa dia ke aula untuk disemayamkan sementara di situ. Ketika dia dibawa ke aula, aroma harum itu menular ke segala tempat yang dilewatinya, juga di tempat dia disemayamkan. Jadi, semua orang bercerita tentang semua yang baik tentang Surti di masa lalu. Tetapi ketika tengah malam, percakapan mulai berubah tentang kebinalannya, tentang pekerjaannya, atau apa, orang tidak menyadari dia mulai membusuk. Lalu baunya mulai menguar, bau sebenarnya dari mayat itu. Ketika percakapan itu mulai berkelindan ke sana kemari tentang Surti yang begini begitu, dia mulai kembali ke proses yang alami, kembali membusuk dan menjadi tanah. Ketika ruangan yang begitu penuh dengan orang yang mengarak dia sudah kosong, ketika percakapan itu berubah dan Surti pun berubah kembali ke keadaan alamiahnya, yang tertinggal di situ cuma empat orang yang harus mengusung keranda pemakamannya yang kedua. Jadi, saya mau menggambarkan bagaimana begitu tipis batas antara yang baik dan yang buruk, dan begitu tipis juga lidah kita berubah dari sesuatu yang baik menjadi sesuatu yang buruk. Sangat tipis. Jadi, inti ceritanya seperti itu. Makanya ada pemakaman Surti yang pertama, lalu ada pemakamannya yang kedua. Sesederhana itu.