Esai oleh Ped Langoday
Pertama kali terbit di Jurnal Sastra Filokalia, edisi Februari 2025 dengan judul “Menemukan ‘Pelajaran’ dari Orang Samaria dengan Pendekatan Intertekstual”.
Setiap teks selalu mempunyai hubungan dengan teks lain. Hubungan semacam ini dikenal dengan istilah intertekstual. Ketika berdiskusi tentang pendekatan intertekstual, nama Mikhail Bakhtin patut dihadirkan sebab dialah yang pertama kali merumuskan gagasan ini. Ia menyebut bahwa setiap tuturan selalu memiliki hubungan dialogis dengan tuturan lain, sekalipun ia tetap mengakui bahwa terdapat tuturan monologis, semisal sebuah puisi yang murni ekspresi dari penulis (Faruk, 1994). Namun, seperti yang kita tahu, jarang ditemukan jenis puisi seperti ini. Julia Kristeva yang mengembangkan pendekatan intertekstual tetap berpegang pada pemahaman yang sama namun dengan bahasa yang lebih optimistik. Dia mengungkapkan bahwa tidak ada teks yang tidak terpengaruh oleh teks sebelumnya (Kristeva, 1941). Oleh alasan itu pula, dia yakin bahwa untuk memahami suatu teks perlu adanya rujukan teks lain yang memengaruhinya. Beberapa pemikir lainnya juga mempromosikan teori intertekstual ini, tentunya dengan kekhasannya tersendiri, seperti halnya Derrida dalam dekonstruksinya, dan Barthes lewat ‘kematian pengarang’.

Dengan mendasarkan diri pada pendekatan intertekstual, buku kumpulan puisi Pelajaran dari Orang Samaria sebagai sebuah teks pun semestinya mempunya hubungan dengan teks-teks lain. Tentu saja banyak teks yang mempunyai keterkaitan dengan buku puisi karya Giovanni yang lahir dari pengalaman pengarang terhadap referensi-referensi yang ditemui. Namun, dalam proses pembacaan terhadap karya Giovanni ini, saya menemukan dan membatasi pada dua teks yang dinilai memiliki kesesuaian dan paralelisme yang lebih jelas. Kembali lagi, penemuan ini pun tidak terlepas dari gagasan intertekstual, yang mana pemilihan dua teks penyanding tersebut berdasar pada pengalaman saya terhadap dua teks tersebut. Karena itu, agaknya ulasan ini lebih cocok ke arah berpikir Barthes karena belum tentu dua teks yang dipilih, terutama teks kedua, diafirmasi oleh Giovanni sebagai teks yang mempunyai hubungan interteks dengan puisi-puisinya.
Ulasan ini terdiri atas tiga pembahasan utama. Pertama, akan dilihat paralelismenya dengan perikop injil “Orang Samaria yang Murah Hati” yang bisa dibilang merupakan warna mencolok dari buku ini. Kedua, kita bergerak menuju satu poin implisit buku ini yang telah membangun hubungan dan keterkaitannya dengan konsep filsuf Kanada, Charles Taylor tentang korelasi antara pengakuan dan identitas. Setelah itu, akan dilanjutkan dengan pembahasan tentang batasan yang tidak bisa dimasuki oleh teori Taylor ketika diperhadapkan dengan beberapa puisi Giovanni.
Paralelisme dan Hubungan Jejaring antara “Orang Samaria yagn Murah Hati” dengan Pelajaran dari Orang Samaria
Pada tempat pertama, hal yang perlu dilihat ialah kebenaran bahwa puisi-puisi, atau setidaknya hampir seluruh puisi dalam buku Pelajaran dari Orang Samaria karya Giovanni A.L. Arum menjiwai ‘sesuatu’ yang sama. Hal ini sudah ditegaskan Yasintus Runesi dalam kata pengantarnya untuk buku ini. Ia menulis bahwa sekumpulan puisi tidak pernah semata-mata sebuah koleksi beberapa judul puisi yang berbeda, melainkan satu keseluruhan dengan satu sistem atau paling tidak merupakan puisi-puisi yang terjalin dalam beberapa tema (hlm. 11).
Setelah membaca seluruh puisi di dalam buku ini, pembaca akan menemukan bahwa buku ini mendapatkan jiwanya dari cerita dan gambaran-gambaran biblikalnya. Atau, dengan kata lain, Pelajaran dari Orang Samaria adalah sekumpulan puisi berimaji biblikal. Lebih lanjut, setelah beberapa lama membaca puisi-puisi di dalamnya, akan ditemukan bahwa judul buku ini merupakan tema utama yang ingin diagungkan oleh Giovanni. Desain sampul yang sekali lihat langsung tertangkap sebagai gambar yang terinspirasi perikop “Orang Samaria yang Murah Hati” (Lukas 10:25-37) lalu menjadi penegas. Demikian bisa dibuat kesimpulan bahwasanya antara Pelajaran dari Orang Samaria dengan perikop injil tersebut terjalin satu jaringan intertekstual, terutama perihal pesan yang ingin disampaikan.
Secara eksegetis, perikop “Orang Samaria yang Murah Hati” memperlihatkan bagaimana Yesus mengkritik cara pandang orang Yahudi yang condong fanatik dan etnosentris. Stigma orang Yahudi ini sebenarnya sudah berlangsung sejak lama ketika kejatuhan Samaria pada kekuasaan bangsa asing. Kejatuhan yang berakhir pada penguasaan terhadap Samaria menyebabkan terjadinya kawin campur dengan bangsa asing. Oleh orang Yahudi, hal ini dianggap telah melunturkan kemurnian dari orang Samaria, dan karena itu mereka pantas dianggap hina dan patut dibenci. Singkatnya, bagi orang Yahudi, mereka bukanlah ‘saudara’ karena mereka berbeda. Orang Yahudi merupakan ras murni sedangkan orang Samaria merupakan keturunan campuran. Di sini dapat dicermati bahwa ‘perbedaan’ telah dijadikan landasan untuk bersikap diskriminatif. Perbedaan dihadirkan untuk membenarkan pertentangan. Sekiranya hal ini juga yang ingin disampaikan oleh salah satu puisi Giovanni. Puisi yang diangkat menjadi judul buku ini.
Pelajaran dari Orang Samaria
… di persimpangan jalan antara agama
dan kegilaan yang kudus.
Aku kaum najis yang menyesatkan diri
dari aneka tafsir hukum agama
yang menjarakkan kita dengan siasat curiga.
Diksi ‘persimpangan’ secara tegas ingin menghadirkan situasi keberbedaan. Kita tahu persimpangan selalu mengandung arti adanya dua atau beberapa cabang yang berbeda. Ketika selanjutnya penulis mengangkat realitas perbedaan agama dengan menulis ‘jalan antara agama‘, terlihat kelanjutan metafora ‘persimpangan’ yang lebih reflektif. Selain merujuk cabang-cabang, persimpangan juga mengandaikan adanya satu jalan utama (asal). Dalam metafora ini kita bisa mengartikan jalan itu sebagai Tuhan, realitas transenden. Sehingga, pesannya jelas dan sesuai dengan pesan Yesus dalam perikop injil tadi, bahwa agama-agama (juga kelompok-kelompok) meskipun saling berbeda tentunya mempunyai satu kesamaan yakni mengasalkan dirinya dan beriman pada Tuhan. Sedangkan ‘kegilaan yang kudus‘ bisa dimengerti sebagai cara penulis membahasakan sikap fanatik terhadap agama. Situasi keberbedaan yang diisi dengan sikap fanatik pada akhirnya mengantar pada perpecahan, yang diterangkan penulis dengan kata ‘menjarakkan‘.
Pada bagian akhir puisi ini penulis menarasikan secara puitis perbuatan mulia orang Samaria ketika melihat orang yang terluka di jalan yang akan dilaluinya. Sekaligus bait terakhir puisi ini mengisyaratkan pesan Yesus bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sama di hadapan Tuhan. Baik Yahudi maupun Samaria mempunyai kesempatan yagn sama untuk dekat dengan Tuhan tergantung usahanya. Salah satu usaha itu ialah dengan ‘beribadah’ secara sederhana.
… Di sini kututnaskan ibadahku dengan cara sederhana:
membersihkan luka-luka cintamu
dengan minyak dan anggur
dengan cinta yang melampaui
sekat-sekat hukum kenajisan
Konsep Korelasi Pengakuan-Identitas yang Terbaca dalam Pelajaran dari Orang Samaria
Orang Samaria di hadapan orang Yahudi merupakan orang yang dianggap berdosa, tercemar, dan patut mendapat perlakuan diskriminatif. Ketika berbicara tentang orang yang ‘dianggap’ berdosa seperti halnya yang dialami orang Samaria dalam relasinya dengan orang Yahudi, kita dapat melihat konsep Charles Taylor tentang korelasi antara pengakuan dan identitas sebagai teks lain yang mempunyai hubungan jejaring dengan Pelajaran dari Orang Samaria sebagaimana posisi teks “Orang Samaria yang Murah Hati”.
Taylor mengatakan bahwa separuh identitas setiap orang terbentuk lewat pengakuan atau tidak adanya pengakuan, bahkan lewat pengakuan yang keliru dari sesamanya (Taylor, 1993). Hal yang sama sebenarnya sudah dipertegas oleh filsuf-filsuf sebelumnya seperti Aristoteles yang sejak awal telah menempatkan sosialitas sebagai kodrat manusia, dan Martin Heidegger yang menyatakan bahwa eksistensi mendasar manusia merupakan ada bersama (bdk. Hardiman, 2020). Dengan nada yang sama dan lebih terang, filsuf eksistensialis Gabriel Marcel menerangkan bahwa manusia menjadi subjek justru karena ada subjek lain. Dalam filsafat manusia, korelasi ini juga diperkuat dengan adanya salah satu faktisitas dari unsur sosial manusia yakni aspek seksualitas. Seksualitas di sini tidak boleh dimengerti secara sempit yakni sekadar hubungan fisik, tetapi juga meliputi kondisi afeksi dan psikis manusia. Manusia mempunyai kecenderungan untuk diterima dan diakui segala keunikannya (Sihotang, 2018). Akan menjadi persoalan jika hal ini disepelekan. Intinya, Taylor dan para filsuf di atas ingin menekankan bahwa manusia dan selalu membutuhkan orang lain dalam menjalani berbagai aspek kehidupannya, termasuk dalam upaya menemukan jati dirinya. Atau juga bisa dikatakan bahwa kehadiran orang lain beserta pengakuannya turut memengaruhi proses identifikasi diri seseorang.
Inti dari teori Taylor di atas sekiranya memperoleh gemanya dalam puisi “Pelajaran dari Orang Samaria”. Namun, sebelum menilik hal itu, ada baiknya kita mencari tahu siapa tokoh ‘aku’ dalam puisi ini. pada bait pertama puisi ini kita dibuat bingung dengan pertanyaan: siapa sebenarnya yang menjadi tokoh ‘aku’? Apakah ‘aku’ yang dimaksud ialah orang Samaria atau orang Yahudi?
Aku kaum najis yang menyesatkan agama
dari aneka tafsir hukum agama
‘Najis’ di satu kutub memberi penekanan bahwa ‘aku’ yang dimaksud adalah orang Samari amengingat orang Samarialah yang dicap sebagai orang yang najis. Namun, ‘tafsir hukum agama‘ di kutub yang berlawanan memberi peluang bagi kita untuk menafsir ‘aku’ sebagai orang Yahudi, karena dalam Kitab Suci, orang Yahudi terutama para ahli Taurat pada umumnya mempunyai perhatian yang lebih terhadap aktivitas menafsir. Ketika kita memasuki bait kedua, kita seakan diberi tahu bahwa ‘aku’ yang dimaksud adalah orang Samaria, atau setidaknya orang-orang yang mempunyai kekhasan ‘orang Samaria’. ‘Membersihkan luka-luka’ memainkan peran yang penting dalam menunjukkan pekerjaan seorang Samaria (bdk. Lukas 10:25-37).
Setelah yakin bahwa ‘aku’ yang dimaksudkan adalah orang Samaria, menarik jika pengakuan ‘aku’ sebagai ‘kaum najis’ kembali diperhatikan. Dalam teks acuannya, yakni perikop injil Lukas, hal ini tidak diterangkan. Itu artinya pengakuan ini adalah siasat kreatif dari Giovanni dalam membentuk puisinya. Kreativitas ini secara rapi memuat konsep dari Taylor. Kitab Suci, terutama perikop tersebut, tidak menceritakan bahw aorang Samaria mengakui bahwa ia dan kaumnya adalah kaum najis di hadapan orang Yahudi. ‘Kaum najis’ hanyalah sebuah label buruk yang diberikan pada mereka. Sehingga, ketika Giovanni membuat ‘penajaman’ seperti ini, maka ia telah menunjukkan bahwa pengakuan yang keliru atau label buruk itu kemungkinan atau pasti menyebabkan deformasi bagi orang Samaria, yang pada akhirnya membuat mereka sendiri mempunyai pengakuan yang keliru terhadap diri sendiri. Kurang lebih sama halnya dengan kasus seorang yang dianggap bodoh oleh orang banyak, pada akhirnya menilai bahwa dirinya betul-betul bodoh. Ada korelasi yang erat antara pengakuan dan identitas.
Batasan Konsep Korelasi antara Pengakuan dengan Identitas
Puisi-puisi lainnya dalam buku ini, meskipun tidak serta-merta menampilkan tokoh orang Samaria, tetapi tetap konsisten dengan menyodorkan tokoh-tokoh Kitab Suci yang mempunyai kekhasan ‘orang Samaria’: kecil, minoritas, dan berdosa. Jelas bahwa buku ini tidak berisi puisi-puisi yang tidak ada keterkaitan satu sama lain sebagaimana yang sudah dibincangkan pada bagian awal ulasan ini.
Namun, tidak seperti puisi “Pelajaran dari Orang Samaria” yang menampilkan hubungan terhadap orang lain (horizontal), puisi-puisi lainnya mempelrihatkan hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Sehingga, konsep korelasi antara pengakuan dan identitas tidak bisa menyentuhnya. Jika identifikasi diri sebagai yang kecil dan berdosa dalam puisi “Pelajaran dari Orang Samaria” merupakan konsekuensi dari pengakuan yang keliru dari sesama, kesadaran sebagai yang kecil dan berdosa dalam puiisi lainnya merupakan ungkapan kerendahan hati, ketidakberdayaan, dan iman di hadapan Tuhan yang Mahabesar dan Mahabenar.
Dalam puisi “Tubuh-Mu Bilangan Tak Terhingga” (hlm. 25), predikat ‘anak kecil’ yang melekat pada tokoh ‘aku’ mengisyaratkan kekecilan tokoh ‘aku’ di hadapan Tuhan yang tubuh-Nya pembagi dan tak terhingga. Giovanni menulis begini.
… Aku hadir sebagai anak kecil yang sedang belajar
menghitung bilangan yagn dipecahkan dari tubuh-Mu
… dan Engkau ikhlas sebagai pembagi tak berhingga.
Kemunculan isu kontras yang sama juga ditunjukkan dalam puisi “Ketika Adam Terjebak dalam Teori Himpunan” (hlm. 27). Di sini, Adam dimetaforakan sebagai bilangan ganjil, sedangkan Tuhan hadir sebagai teori himpunan yang dapat ‘membulatkan’ Adam. Pertautan antara kata sifat ‘ganjil’ dan ‘bulat’ menajamkan isu kontras ini.
Seluruh bilangan ganjil
ingin tergenapi doa kecilmu.
Tuhan telah menjelma himpunan semesta
paling keras kepala. Dibatasi-Nya
diriku dalam irisan yang tercipta
dari dua himpunan hati dan empedu
yang turut terlepas bersama rusukku
ketika engkau dihadirkan
sebagai bilangan bulat padat.
Puisi “Tabernakel” (hlm. 31) meskipun tidak menempatkan subjeknya di depan Tuhan, melainkan Maria, tetap memperlihatkan hal yang sama.
Hatimu tabernakel, ya Maria,
tabah menyimpan rahasia
semesta. Tanganku rapuh hasta
Daud yang tak suci …
Tabernakel sebagai barang suci dipertentangkan dengan tangan yang tak suci.
Puisi-puisi lainnya juga mempunyai intensi yang sama, dan juga dengan gaya ‘pertentangan’ yang kurang lebih sama. Misalnya, puisi “Di Ruang Pengakuan” (hlm. 32), penulis memperlakukan ‘Simon Petrus, karang terluka’ sebagai kata sifat dari hati tokoh ‘aku’. Atau, dalam puisi “Kisah Kenaikan” (hlm. 37) dengan memertentangkan ‘aku yang telah pecah’ dengan ‘cinta-Mu perkasa’.
Secara keseluruhan pola ini melekat dalam puisi-puisi Giovanni. Berulang-ulang. Jika menulis adalah sebuah pewartaan, maka kita bisa mengatakan bahwa dengan ‘pola universal’ ini Giovanni telah berusaha mewartakan kepada pembaca bagaimana cara beriman dengan tepat, bagaimana hrus membawa diri ketika berhadapan dengan Tuhan. Dengan itu, tokoh-tokoh dalam puisi-puisinya merupakan model bagi kita dalam hal beriman.
Demikianlah, dengan menempatkan Pelajaran dari Orang Samaria sebagai teks yang memiliki hubungan jejaring dengan teks-teks lain, dalam hal ini perikop “Orang Samaria yang Murah Hati” dan konsep korelasi pengakuan-identitas Charles Taylor, kita dapat menemukan beberapa ‘pelajaran’ penting dari Pelajaran dari Orang Samaria.
Sumber Bacaan
Bakhtin, Mikhail Mikhaelovic. 1981. The Dialogic Imagination: Four Essays. (Translated by Caryl Emerson and Michael OHlquist, eidted by Michael Holquist). University of Texas Press: Austin & London
Faruk. 1994. Pengantar Sosiologi Sastra, dari Strukturalisme Genetik sampai Postmodernisme. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Hardiman, F. Budi. 2020. Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar menuju Sein und Zeit. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta.
Sihotang, Kasdin. 2018. Filsafat Manusia. Kanisius: Yogyakarta.
Kristeva, Julia. 1941. Desire in Language: A Semiotic Approach to Literature and Art. (editor: L.S. Roudiez). Columbia University Press: New York.
Taylor, Charles. 1993. Multikulturalismus und Politik der Anerkennung. Suhrkamp: Frankfurt am Main.